Pernikahan Ala Lombok (Merarik)
Ø Pernikahan ala Lombok (Merarik)
Tradisi merarik dalam budaya
masyarakat suku Sasak diLombok, Nusa Tenggara Barat, hingga kini lebih banyak
dipahami sebagai selarian (kawin lari). Oleh karena itu, tidak mengherankan
apabila tradisi merarik lebih banyak mendapat konotasi negatif sebagaimana
pemahaman tentang kawin lari yang biasa dilakukan oleh pasangan remaja yang
tidak mendapat restu dari orangtua.
Bahkan, akibat keluguan masyarakat Sasak yang menyederhanakan kata merarik dengan istilah memaling (mencuri), kesan negatif itu makin sulit dihindari. Meski ada juga tata cara perkawinan yang lain, seperti perjodohan dan melamar, pengertian merarik dengan konotasi negatif lebih banyak dikenal oleh masyarakat dari luar daerah.
Adalah keliru pandangan negatif terhadap tradisi merarik, karena dalam tradisi itu penuh dengan nilai yang mengangkat harkat dan martabat kaum perempuan di Lombok, ungkap pemerhati budaya Sasak, Lalu Pharmanegara.
Pharmanegara mengatakan, dalam tradisi merarik seharusnya perempuan memiliki posisi yang sangat kuat dalam menentukan masa depannya. Tidak ada paksaan bagi perempuan untuk menentukan pilihannya.
Pemerhati budaya Sasak lainnya, M Yamin, mengatakan bahwa secara etimologis merarik berasal dari kata arik (adik). Dengan demikian, sebagai terminologi,merarik bermakna mengambil perempuan untuk dijadikan istri yang dalam keseharian suami memanggil arik terhadap istrinya.
Kesan negative merarik, menurut M Yamin, karena ia dilakukan diam-diam dan biasanya harus pada malam hari. Kalaupun bisa dilakukan siang hari, adat biasanya mengenakan konsekuensi tambahan.
Yamin mengatakan, dalam merarik, tidak begitu saja anak perempuan diambil dari rumah orangtuanya. Beberapa aturan adat harus dipenuhi, di antaranya yang mengambil harus orang lain, bukan calon suami. Yang ditugaskan mengambil pun bukan hanya kaum lelaki, tapi juga ada kaum perempuan yang akan menemani calon pengantin sampai proses merarik selesai.
Perempuan yang diambil pun tidak boleh dibawa langsung ke rumah calon suami, melainkan disembunyikan, atau dititipkan di rumah orang lain. Bahkan, supaya netral, perempuan yang di-ambil itu dititipkan di rumah tokoh masyarakat, seperti kepala kampung, kepala desa, dan sebagainya.
Upaya dan proses itu ditempuh adalah untuk menghindari kemungkinan pelanggaran adat dan agama. Dalam tradisi masyarakat Sasak, laki-perempuan yang akil-balik, saling pandang pun pantang, apalagi kontak fisik. Karenanya, dalam masa pacaran pun dikenal istilah subandar sebagai mediator kedua pihak
Bahkan, akibat keluguan masyarakat Sasak yang menyederhanakan kata merarik dengan istilah memaling (mencuri), kesan negatif itu makin sulit dihindari. Meski ada juga tata cara perkawinan yang lain, seperti perjodohan dan melamar, pengertian merarik dengan konotasi negatif lebih banyak dikenal oleh masyarakat dari luar daerah.
Adalah keliru pandangan negatif terhadap tradisi merarik, karena dalam tradisi itu penuh dengan nilai yang mengangkat harkat dan martabat kaum perempuan di Lombok, ungkap pemerhati budaya Sasak, Lalu Pharmanegara.
Pharmanegara mengatakan, dalam tradisi merarik seharusnya perempuan memiliki posisi yang sangat kuat dalam menentukan masa depannya. Tidak ada paksaan bagi perempuan untuk menentukan pilihannya.
Pemerhati budaya Sasak lainnya, M Yamin, mengatakan bahwa secara etimologis merarik berasal dari kata arik (adik). Dengan demikian, sebagai terminologi,merarik bermakna mengambil perempuan untuk dijadikan istri yang dalam keseharian suami memanggil arik terhadap istrinya.
Kesan negative merarik, menurut M Yamin, karena ia dilakukan diam-diam dan biasanya harus pada malam hari. Kalaupun bisa dilakukan siang hari, adat biasanya mengenakan konsekuensi tambahan.
Yamin mengatakan, dalam merarik, tidak begitu saja anak perempuan diambil dari rumah orangtuanya. Beberapa aturan adat harus dipenuhi, di antaranya yang mengambil harus orang lain, bukan calon suami. Yang ditugaskan mengambil pun bukan hanya kaum lelaki, tapi juga ada kaum perempuan yang akan menemani calon pengantin sampai proses merarik selesai.
Perempuan yang diambil pun tidak boleh dibawa langsung ke rumah calon suami, melainkan disembunyikan, atau dititipkan di rumah orang lain. Bahkan, supaya netral, perempuan yang di-ambil itu dititipkan di rumah tokoh masyarakat, seperti kepala kampung, kepala desa, dan sebagainya.
Upaya dan proses itu ditempuh adalah untuk menghindari kemungkinan pelanggaran adat dan agama. Dalam tradisi masyarakat Sasak, laki-perempuan yang akil-balik, saling pandang pun pantang, apalagi kontak fisik. Karenanya, dalam masa pacaran pun dikenal istilah subandar sebagai mediator kedua pihak
Ø Proses
Merarik
Nyongkolan merupakan acara sorong serah yang dimana
pengantin laki-laki mendatangi rumah perempuan, kebiasaan acara nyongkolan ini
diikuti oleh banyak orang karena pengantin laki-laki yang akan berkunjung
kerumah sang perempuan harus dikawal oleh masyarakat banyak layaknya seorang
raja dan ratu yang dikawal perajuritnya. Dengan mengenakan busana adat yang
khas, pengantin dan keluarga yang ditemani oleh para tokoh agama, tokoh
masyarakat atau pemuka adat beserta sanak saudara, berjalan keliling desa atau
dari rumah mempelai pria ke rumah mempelai wanita. Tradisi ini juga merupakan
sebuah bentuk "pengumuman" bahwa pasangan tersebut sudah resmi
menikah.
Hingga saat ini, Nyongkolan masih tetap berlangsung Akan tetapi pada saat ini budaya nyongkolan ini sudah mulai memudar, hal ini disebabkan kurangnya kepedulian masyarakat akan budaya nyongkolan yang dimana budaya nyongkolan ini merupakan ciri khas budaya sasak. Salah satu penyebab kurangnya perhatian masyarakat akan budaya nyongkolan ini adalah budaya nyongkolan zaman dahulu berbeda dengan nyongkolan zaman sekarang, dimana nyongkolan zaman dulu tidak memerlukan biaya yang cukup banyak dan cukup dengan menggunakan tip dan memutar kaset cilokak (lagu asli sasak) sampai rumah sang permpuan, sedangkan nyongkolan zaman sekarang membutuhkan
Hingga saat ini, Nyongkolan masih tetap berlangsung Akan tetapi pada saat ini budaya nyongkolan ini sudah mulai memudar, hal ini disebabkan kurangnya kepedulian masyarakat akan budaya nyongkolan yang dimana budaya nyongkolan ini merupakan ciri khas budaya sasak. Salah satu penyebab kurangnya perhatian masyarakat akan budaya nyongkolan ini adalah budaya nyongkolan zaman dahulu berbeda dengan nyongkolan zaman sekarang, dimana nyongkolan zaman dulu tidak memerlukan biaya yang cukup banyak dan cukup dengan menggunakan tip dan memutar kaset cilokak (lagu asli sasak) sampai rumah sang permpuan, sedangkan nyongkolan zaman sekarang membutuhkan
biaya yang cukup banyak, karena acara nyongkolan harus di iringi
oleh grup musik moderen atau tradisional seperti kecimol, gendang belek, dan
ale-ale (aliran musik campuran moderen dan tradisional), walaupun demikian
budaya nyongkolan sangat perlu dilestarikan oleh masyarakat karena budaya
nyongkolan merupakan ciri khas pulau Lombok.
Disamping masyarakat, pemerintah juga harus ikutserta dalam
melestarikan budaya nyongkolan walaupun dengan cara mengadakan berbagai macam
acara-acara yang berkaitan dengan budaya agar ciri khas suatu daerah tetap
terlihat dengan jelas, karena budaya merupakan aset yang dapat memberikan
kontribusi bagi daerah.
Masyarakat yang akan melakukan nyongkolan semuanya memakai pakaian adat Lombok, yakni Busana Adat Sasak dalam perkembanganya dipengaruhi oleh budaya Etnis Melayu, Jawa, Bali dan Bugis. Pengaruh dari berbagai etnis tersebut beralkulturasi menjadi satu dalam tampilan. Busana adat Sasak di berbagai lokus budaya/ sub etnik juga kita dapatkan berbagai bentuk variasi yang mencirikannya. Dikarenakan budaya Sasak bersendikan agama maka busana Sasak disesuikan dengan aturan agama yang dianut ( mayoritas orang Sasak ; pemeluk Islam). Pemakaian busana adat dilakukan untuk kegiatan yang berkenaan dengan adat dengan tatacara yang beradat. Busana Adat berbeda dengan pakaian kesenian yang boleh memakai “sumping” , berkaca mata hitam, menggunakan pernik-pernik yang menyala keemasan. Dalam ketentuan dalam seminar dan lokakarya Pakain Adat Sasak yang dihadiri oleh para budayawan dan masyarakat adat, telah disepakati pedoman dasar busana adat sasak , jenis dan maknanya sebagai
Masyarakat yang akan melakukan nyongkolan semuanya memakai pakaian adat Lombok, yakni Busana Adat Sasak dalam perkembanganya dipengaruhi oleh budaya Etnis Melayu, Jawa, Bali dan Bugis. Pengaruh dari berbagai etnis tersebut beralkulturasi menjadi satu dalam tampilan. Busana adat Sasak di berbagai lokus budaya/ sub etnik juga kita dapatkan berbagai bentuk variasi yang mencirikannya. Dikarenakan budaya Sasak bersendikan agama maka busana Sasak disesuikan dengan aturan agama yang dianut ( mayoritas orang Sasak ; pemeluk Islam). Pemakaian busana adat dilakukan untuk kegiatan yang berkenaan dengan adat dengan tatacara yang beradat. Busana Adat berbeda dengan pakaian kesenian yang boleh memakai “sumping” , berkaca mata hitam, menggunakan pernik-pernik yang menyala keemasan. Dalam ketentuan dalam seminar dan lokakarya Pakain Adat Sasak yang dihadiri oleh para budayawan dan masyarakat adat, telah disepakati pedoman dasar busana adat sasak , jenis dan maknanya sebagai
A. Busana
Adat Sasaq laki-laki dan maknanya :
1.
Capuq/Sapuk ( batik, palung , songket) : Sapuk merupakan mahkota bagi
pemakainya sebagai tanda kejantanan serta menjaga pemikiran dari hal-hal
yang kotor dan sebagai lambang penghormatan kepada Tuhan yang maha esa.
Jenis dan cara penggunaan sapuq pada pakaian adat sasak tidak dibenarkan meniru
cara penggunaan sapuq untuk ritual agama lain.
2.
Baju Godek Nongkek ( warna gelap ) : merupakan busana pengaruh dari jawa
merupakan adaptasi jas eropa sebagai lambang keanggunan dan kesopanan.
Modifikasi dilakukan bagian belakang pegon agak terbuka untuk
memudahkan penggunaan keris. Bahan yang digunakan sebaiknya
berwarna polos tidak dibuat berenda-renda sebagaimana pakaian kesenian.
3.
Leang / dodot / tampet ( kain songket) : motif kain songket dengan motif
subahnale, keker, bintang empet dll ) bermakna semangat dalam berkarya
pengabdian kepada masyarakat.
4.
Kain dalam dengan wiron / cute : bahannya dari batik jawa dengan motif
tulang nangka atau kain pelung hitam. Dapat juga digunakan pakain tenun
dengan motif tapo kemalo dan songket dengan motif serat penginang .Hindari
penggunaan kain putih polos dan merah . Wiron / Cute yang ujungnya sampai
dengan mata kaki lurus kebumi bermakan sikap tawadduk-rendah hati.
5.
Keris : Penggunaan keris disisipkan pada bagian belakang jika bentuknya
besar dan bisa juga disisipkan pada bagian depan jika agak kecil. Dalam aturan
pengunaan keris sebagai lambang adat muka keris ( lambe/gading) harus menghadap
kedepan, jika berbalik bermakna siap beperang atau siaga. Keris bermakna
: kesatriaan - keberanian dalam mempertahankan martabat. Belakangan ini karena
keris agak langka maka diperbolehkan juga menyelipkan “pemaja” (pisau
kecil tajam untuk meraut).
6.
Selendang Umbak ( khusus untuk para pemangku adat ): Umbak adalah sabuk
gendongan yang dibuat dengan ritual khusus dalam keluarga sasak. Warna kain
umbak putih merah dan hitam dengan panjang sampai dengan empat meter. Dihujung
benang digantungkan uang cina ( kepeng bolong). Umbak sebagai
pakaian adat hanya digunkan oleh para pemangku adat,
pengayom masyarakat. Umbak untuk busana sebagai lambang kasih sayang dan kebijakan.
pengayom masyarakat. Umbak untuk busana sebagai lambang kasih sayang dan kebijakan.
B. Busana
Adat Perempuan dan maknanya
1.
Pangkak : Mahkota pada wanita berupa hiasan emas berbentuk bunga-bunga yang
disusun sedemikian rupa disela-sela konde.
2.
Tangkong : Pakaian sebagai lambang keanggunan dapat berupa pakaian kebaya
dan lambung dari bahan dengan warna cerah atau gelap dari jenis kain
beludru atau brokat. Dihindari penggunaan model yang memperlihatkan belahan
dada dan transparan .
3.
Tongkak : Ikat pinggang dari sabuk panjang yang dililitkan menutupi pinggang
sebagai lambang kesuburan dan pengabdian
4.
Lempot : Berupa selendang/kain tenun panjang bercorak khas yang disampirkan di
pundak kiri. Sebagai lambang kasih sayang.
5.
Kereng : Berupa kain tenun songket yang dililitkan dari pinggang sampai mata
kaki sebagai lambang kesopanan, dan kesuburan.
6.
Asesoris : Gendit /Pending berupa rantai perak yang lingkarkan sebagai ikat
pinggang, Onggar-onggar ( hiasan berupa bunga-bunga emas yang diselipkan pada
konde) jiwang / tindik (anting-anting), Suku /talen/ ketip ( uang emas atau
perak yang dibuat bros) kalung dll.
Catatan : Pemakaian alas kaki dibenarkan meskipun pada aslinya tidak digunakan. Alas kaki yang boleh digunakan berupa selop baik yang dibuat dari bahan karet maupun kulit. Belakangan ini pada wanita yang menggunakan jilbab tetap bisa dibenarkan dengan modifikasi menambah mahkota yang dihias sebagaimana penggunaan konde/cemara
Ø Ngurisan
(Cukuran)
Setelah merarik (nikah) membuahkan
hasil (momongan) di Lombok mengadakan upacara ngurisan.
Tradisi
“ngurisan” atau cukur rambut bayi pada saat perayaan maulid Nabi Muhammad SAW
merupakan tradisi yang sudah lama dilaksanakan di Nusa Tenggara Barat (NTB).
Tradisi “Ngurisan” atau cukur rambut bayi yang baru lahir atau berumur dibawah
enam bulan bagi masyarakat Lombok biasanya dilaksanakan di masjid atau musala
pada hari-hari besar agama Islam, terutama saat peringatan hari kelahiran Nabi
Muhammad SAW.
Sejumlah
bayi digendong orang tua atau kerabatnya di bawa ke masjid bersama dengan beberapa
jenis bunga dan beras kuning yang diletakkan dalam sebuah nampan berisi
kepingan uang logam. Sebelum prosesi “ngurisan” dilaksanakan oleh para tokoh
agama dan masyarakat dari bebeberapa kampung di dalam dan luar, terlebih dulu
dimulai dengan “namatan” atau pembacaan ayat-ayat pendek yang dilakukan oleh
anak-anak usia sekolah dasar.
Setelah
itu dilanjutkan dengan pembacaan kitab barzanji atau riwayat perjalanan
Rasulullah SAW dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa untuk menerima perintah
shalat lima waktu sehari semalam dari Allah SWT. Selesai pembacaan kitab
barzanji tersebut barulah proses “ngurisan” dilaksanakan bersamaan dengan
“selaqaran”. Seluruh tokoh agama dan masyarakat yang diundang harus mencukur
atau memegang kepala bayi.
Tradisi
itu juga merupakan warisan para orang tua dulu sehingga harus dihormati dan
dilestarikan sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT. Masing-masing
lingkungan memiliki jadwal yang sudah disepakati oleh warga di lingkungan
setempat, sehingga para tokoh agama dan tokoh masyarakat yang menjadi undangan
berasal dari kampung yang belum memiliki jadwal pelaksanaan maulid. Tamu
undangan memperoleh penganan berupa kue khas lombok seperti tarek, iwel,
tempeyek dan lainnya yang disediakan oleh warga kampung yang mengundang mereka.
Pada siang harinya para undangan memperoleh makan siang berupa nasi lengkap
dengan lauk pauknya, dan sore hari tamu undangan memperoleh buah-buahan atau
yang disebut dengan “dulang penamat” atau makanan terakhir setelah prosesi
“ngurisan” berakhir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar