Rabu, 22 Mei 2013

UPACARA PERNIKAHAN LOMBOK


Pernikahan Ala Lombok (Merarik)

Ø  Pernikahan ala Lombok (Merarik)
Tradisi merarik dalam budaya masyarakat suku Sasak diLombok, Nusa Tenggara Barat, hingga kini lebih banyak dipahami sebagai selarian (kawin lari). Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila tradisi merarik lebih banyak mendapat konotasi negatif sebagaimana pemahaman tentang kawin lari yang biasa dilakukan oleh pasangan remaja yang tidak mendapat restu dari orangtua.

Bahkan, akibat keluguan masyarakat Sasak yang menyederhanakan kata merarik dengan istilah memaling (mencuri), kesan negatif itu makin sulit dihindari. Meski ada juga tata cara perkawinan yang lain, seperti perjodohan dan melamar, pengertian merarik dengan konotasi negatif lebih banyak dikenal oleh masyarakat dari luar daerah.

Adalah keliru pandangan negatif terhadap tradisi merarik, karena dalam tradisi itu penuh dengan nilai yang mengangkat harkat dan martabat kaum perempuan di Lombok, ungkap pemerhati budaya Sasak, Lalu Pharmanegara.

Pharmanegara mengatakan, dalam tradisi merarik seharusnya perempuan memiliki posisi yang sangat kuat dalam menentukan masa depannya. Tidak ada paksaan bagi perempuan untuk menentukan pilihannya.

Pemerhati budaya Sasak lainnya, M Yamin, mengatakan bahwa secara etimologis merarik berasal dari kata arik (adik). Dengan demikian, sebagai terminologi,merarik bermakna mengambil perempuan untuk dijadikan istri yang dalam keseharian suami memanggil arik terhadap istrinya.

Kesan negative merarik, menurut M Yamin, karena ia dilakukan diam-diam dan biasanya harus pada malam hari. Kalaupun bisa dilakukan siang hari, adat biasanya mengenakan konsekuensi tambahan.

Yamin mengatakan, dalam merarik, tidak begitu saja anak perempuan diambil dari rumah orangtuanya. Beberapa aturan adat harus dipenuhi, di antaranya yang mengambil harus orang lain, bukan calon suami. Yang ditugaskan mengambil pun bukan hanya kaum lelaki, tapi juga ada kaum perempuan yang akan menemani calon pengantin sampai proses merarik selesai.

Perempuan yang diambil pun tidak boleh dibawa langsung ke rumah calon suami, melainkan disembunyikan, atau dititipkan di rumah orang lain. Bahkan, supaya netral, perempuan yang di-ambil itu dititipkan di rumah tokoh masyarakat, seperti kepala kampung, kepala desa, dan sebagainya.

Upaya dan proses itu ditempuh adalah untuk menghindari kemungkinan pelanggaran adat dan agama. Dalam tradisi masyarakat Sasak, laki-perempuan yang akil-balik, saling pandang pun pantang, apalagi kontak fisik. Karenanya, dalam masa pacaran pun dikenal istilah subandar sebagai mediator kedua pihak

Ø  Proses Merarik
Nyongkolan merupakan acara sorong serah yang dimana pengantin laki-laki mendatangi rumah perempuan, kebiasaan acara nyongkolan ini diikuti oleh banyak orang karena pengantin laki-laki yang akan berkunjung kerumah sang perempuan harus dikawal oleh masyarakat banyak layaknya seorang raja dan ratu yang dikawal perajuritnya. Dengan mengenakan busana adat yang khas, pengantin dan keluarga yang ditemani oleh para tokoh agama, tokoh masyarakat atau pemuka adat beserta sanak saudara, berjalan keliling desa atau dari rumah mempelai pria ke rumah mempelai wanita. Tradisi ini juga merupakan sebuah bentuk "pengumuman" bahwa pasangan tersebut sudah resmi menikah.

Hingga saat ini, Nyongkolan masih tetap berlangsung Akan tetapi pada saat ini budaya nyongkolan ini sudah mulai memudar, hal ini disebabkan kurangnya kepedulian masyarakat akan budaya nyongkolan yang dimana budaya nyongkolan ini merupakan ciri khas budaya sasak. Salah satu penyebab kurangnya perhatian masyarakat akan budaya nyongkolan ini adalah budaya nyongkolan zaman dahulu berbeda dengan nyongkolan zaman sekarang, dimana nyongkolan zaman dulu tidak memerlukan biaya yang cukup banyak dan cukup dengan menggunakan tip dan memutar kaset cilokak (lagu asli sasak) sampai rumah sang permpuan, sedangkan nyongkolan zaman sekarang membutuhkan
biaya yang cukup banyak, karena acara nyongkolan harus di iringi oleh grup musik moderen atau tradisional seperti kecimol, gendang belek, dan ale-ale (aliran musik campuran moderen dan tradisional), walaupun demikian budaya nyongkolan sangat perlu dilestarikan oleh masyarakat karena budaya nyongkolan merupakan ciri khas pulau Lombok.

Disamping masyarakat, pemerintah juga harus ikutserta dalam melestarikan budaya nyongkolan walaupun dengan cara mengadakan berbagai macam acara-acara yang berkaitan dengan budaya agar ciri khas suatu daerah tetap terlihat dengan jelas, karena budaya merupakan aset yang dapat memberikan kontribusi bagi daerah.

Masyarakat yang akan melakukan nyongkolan semuanya memakai pakaian adat Lombok, yakni Busana Adat Sasak dalam perkembanganya dipengaruhi oleh  budaya Etnis Melayu, Jawa, Bali dan Bugis. Pengaruh dari berbagai etnis tersebut beralkulturasi menjadi satu dalam tampilan. Busana adat Sasak di berbagai lokus budaya/ sub etnik juga kita dapatkan berbagai bentuk variasi yang mencirikannya. Dikarenakan budaya Sasak bersendikan agama maka busana Sasak disesuikan dengan aturan agama yang dianut ( mayoritas orang Sasak ; pemeluk Islam). Pemakaian busana adat  dilakukan untuk kegiatan yang berkenaan dengan adat dengan tatacara yang beradat. Busana Adat berbeda dengan pakaian kesenian yang boleh memakai “sumping” , berkaca mata hitam, menggunakan pernik-pernik yang menyala keemasan. Dalam ketentuan dalam seminar dan lokakarya Pakain Adat Sasak yang dihadiri oleh para budayawan dan masyarakat adat, telah disepakati pedoman dasar busana adat sasak , jenis dan maknanya sebagai
 
A.      Busana Adat Sasaq laki-laki dan maknanya :
1.      Capuq/Sapuk ( batik, palung , songket) : Sapuk  merupakan mahkota bagi pemakainya sebagai tanda kejantanan  serta menjaga pemikiran dari hal-hal yang kotor dan sebagai  lambang penghormatan kepada Tuhan yang maha esa. Jenis dan cara penggunaan sapuq pada pakaian adat sasak tidak dibenarkan meniru cara penggunaan sapuq untuk ritual agama lain.
2.      Baju Godek Nongkek ( warna gelap ) : merupakan busana  pengaruh dari jawa merupakan adaptasi jas eropa sebagai  lambang keanggunan dan kesopanan. Modifikasi dilakukan  bagian belakang pegon agak terbuka untuk memudahkan  penggunaan keris. Bahan yang digunakan sebaiknya berwarna  polos tidak dibuat berenda-renda sebagaimana pakaian kesenian.
3.      Leang / dodot / tampet ( kain songket) : motif kain songket  dengan motif subahnale, keker, bintang empet dll ) bermakna  semangat dalam berkarya pengabdian kepada masyarakat.
4.      Kain dalam dengan wiron / cute : bahannya dari batik jawa  dengan motif tulang nangka atau kain pelung hitam. Dapat juga  digunakan pakain tenun dengan motif tapo kemalo dan songket dengan motif serat penginang .Hindari penggunaan kain putih polos dan merah . Wiron / Cute yang ujungnya sampai dengan mata kaki lurus kebumi bermakan sikap tawadduk-rendah hati.
5.      Keris : Penggunaan keris disisipkan pada bagian belakang  jika bentuknya besar dan bisa juga disisipkan pada bagian depan jika agak kecil. Dalam aturan pengunaan keris sebagai lambang adat muka keris ( lambe/gading) harus menghadap kedepan, jika  berbalik bermakna siap beperang atau siaga. Keris bermakna : kesatriaan - keberanian dalam mempertahankan martabat. Belakangan ini karena keris agak langka maka diperbolehkan juga  menyelipkan “pemaja” (pisau kecil tajam untuk meraut).
6.      Selendang Umbak ( khusus untuk para pemangku adat ): Umbak adalah sabuk gendongan yang dibuat dengan ritual khusus dalam keluarga sasak. Warna kain umbak putih merah dan hitam dengan panjang sampai dengan empat meter. Dihujung benang  digantungkan uang cina ( kepeng bolong). Umbak sebagai  pakaian adat hanya digunkan oleh para pemangku adat,
pengayom masyarakat. Umbak untuk busana sebagai lambang  kasih sayang dan kebijakan.

B.       Busana Adat Perempuan dan maknanya
1.      Pangkak : Mahkota pada wanita berupa hiasan emas berbentuk bunga-bunga yang disusun sedemikian rupa disela-sela konde.
2.      Tangkong : Pakaian sebagai lambang keanggunan dapat berupa  pakaian kebaya dan lambung dari bahan dengan warna cerah atau gelap dari  jenis kain beludru atau brokat. Dihindari penggunaan model yang  memperlihatkan belahan dada dan transparan .
3.      Tongkak : Ikat pinggang dari sabuk panjang yang dililitkan menutupi pinggang sebagai lambang kesuburan dan pengabdian
4.      Lempot : Berupa selendang/kain tenun panjang bercorak khas yang disampirkan di pundak kiri. Sebagai lambang kasih sayang.
5.      Kereng : Berupa kain tenun songket yang dililitkan dari pinggang sampai mata kaki sebagai lambang kesopanan, dan kesuburan.
6.      Asesoris : Gendit /Pending berupa rantai perak yang lingkarkan sebagai ikat pinggang, Onggar-onggar ( hiasan berupa bunga-bunga emas yang diselipkan pada konde) jiwang / tindik (anting-anting), Suku /talen/ ketip ( uang emas atau perak yang dibuat bros) kalung dll.

Catatan : Pemakaian alas kaki dibenarkan meskipun pada aslinya tidak digunakan. Alas kaki yang boleh digunakan berupa selop baik yang dibuat dari bahan karet  maupun kulit. Belakangan ini pada wanita yang menggunakan jilbab tetap bisa dibenarkan dengan modifikasi menambah mahkota yang dihias sebagaimana penggunaan konde/cemara
Ø  Ngurisan (Cukuran)
Setelah merarik (nikah) membuahkan hasil (momongan) di Lombok mengadakan upacara ngurisan.
Tradisi “ngurisan” atau cukur rambut bayi pada saat perayaan maulid Nabi Muhammad SAW merupakan tradisi yang sudah lama dilaksanakan di Nusa Tenggara Barat (NTB). Tradisi “Ngurisan” atau cukur rambut bayi yang baru lahir atau berumur dibawah enam bulan bagi masyarakat Lombok biasanya dilaksanakan di masjid atau musala pada hari-hari besar agama Islam, terutama saat peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW.
Sejumlah bayi digendong orang tua atau kerabatnya di bawa ke masjid bersama dengan beberapa jenis bunga dan beras kuning yang diletakkan dalam sebuah nampan berisi kepingan uang logam. Sebelum prosesi “ngurisan” dilaksanakan oleh para tokoh agama dan masyarakat dari bebeberapa kampung di dalam dan luar, terlebih dulu dimulai dengan “namatan” atau pembacaan ayat-ayat pendek yang dilakukan oleh anak-anak usia sekolah dasar.
Setelah itu dilanjutkan dengan pembacaan kitab barzanji atau riwayat perjalanan Rasulullah SAW dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa untuk menerima perintah shalat lima waktu sehari semalam dari Allah SWT. Selesai pembacaan kitab barzanji tersebut barulah proses “ngurisan” dilaksanakan bersamaan dengan “selaqaran”. Seluruh tokoh agama dan masyarakat yang diundang harus mencukur atau memegang kepala bayi.
Tradisi itu juga merupakan warisan para orang tua dulu sehingga harus dihormati dan dilestarikan sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT. Masing-masing lingkungan memiliki jadwal yang sudah disepakati oleh warga di lingkungan setempat, sehingga para tokoh agama dan tokoh masyarakat yang menjadi undangan berasal dari kampung yang belum memiliki jadwal pelaksanaan maulid. Tamu undangan memperoleh penganan berupa kue khas lombok seperti tarek, iwel, tempeyek dan lainnya yang disediakan oleh warga kampung yang mengundang mereka. Pada siang harinya para undangan memperoleh makan siang berupa nasi lengkap dengan lauk pauknya, dan sore hari tamu undangan memperoleh buah-buahan atau yang disebut dengan “dulang penamat” atau makanan terakhir setelah prosesi “ngurisan” berakhir


Tidak ada komentar:

Posting Komentar